Wawancara Bersama Elizabeth Goenawan Ananto
Elizabeth Goenawan Ananto adalah Vice President dari International Public Relation Associations (IPRA) dan juga kepala program Master of Management in Communications di Universitas Trisakti. Kita akan bicara tentang dunia Public Relations (PR), trend yang berkembang saat ini.
Menurut Elizabeth, Candi Borobudur tidak lagi diakui atau disebutkan sebagai keajaiban dunia karena Indonesia tidak mengkomunikasikan itu atau melakukan PR secara terus menerus. Indonesia begitu luas, tapi apa ikon yang dijual? Kita mempunyai Komodo, kita mempunyai Borobudur, tapi orang mengatakan kita mempunyai Monas. Padahal Monas itu lambang Jakarta.
Elizabeth mengatakan pada masa depan PR di Indonesia akan menjadi market yang sangat besar, potensial, dan krisisnya banyak. Dengan banyak krisis, banyak product launching, akuisisi dan sebagainya maka itu menjadi lahan untuk PR. Sekolah PR juga termasuk, tetapi sekolah perlu meningkatkan kualifikasi dari pengajarnya. Jangan sampai nanti PR-nya berupa promosi, publikasi, dan selling saja. Sementara kita sudah harus branding dan positioning. Itu yang harus ditata.
Berikut wawancara Faisol Riza dengan Elizabeth Goenawan Ananto.
Saat ini kita melihat di media massa tiba-tiba banyak tokoh politik melakukan public relations (PR). Sejauh mana hubungan PR dengan politik karena kadang-kadang kita sering mendengar yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan, sementara PR sebagai satu sektor mempunyai prinsip-prinsip sendiri?
Kalau kita melihat dari perannya, PR adalah satu strategi komunikasi yang diberikan secara berstrategi. Artinya ada strategi, tidak hanya komunikasi saja. Misalnya, kita ingin menokohkan seseorang maka ada strategi komunikasinya. Sebelum kita mengatakan pilihlah yang bersangkutan, masyarakat harus diberitahu dulu mengenai siapa tokoh itu, kemana targetnya, apa visinya. Kalau kita kembali ke teori maka ada scenario building. Tokoh ini mau dipersepsikan oleh timnya sampai sejauh mana. Dari scenario building itu kemudian kita melakukan issue management karena pasti ada yang suka dan tidak suka atau negatif-positifnya. Itu biasanya harus dilakukan dengan riset yang sederhana, seperti bagaimana persepsi media terhadap tokoh yang bersangkutan.
Jadi tidak asal muncul di media. Bagaimana kalau tokohnya "jelek"?
Pasti ada segi positif dari tokoh yang bersangkutan, sejelek apapun seseorang. Tapi kalau betul-betul jelek, kita harus tahu dulu kenapa jeleknya. Ada atau tidak persepsi positif yang bisa diangkat oleh tokoh itu. Kemudian kita membuat balancing (aktifitas penyeimbang). Memang tokoh ini jelek tapi ada segi positif yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sebutkan saja bad news-nya dan itu juga memang harus disebutkan. Kalau ada bad news dan mengakui bahwa itu kesalahan yang bersangkutan kemudian ada satu indikasi yang positif, maka rakyat tahu bahwa dia sedang memperbaiki itu menjadi positif dan bisa menjadi reputasi dari mengatasi krisis tersebut. Tapi strateginya harus jelas.
Kalau dijelaskan secara singkat, apa sebenarnya PR?
PR adalah mengatakan apa yang sebenarnya dengan cara yang sangat strategis. Jadi kita tidak bicara secara blak-blakan, "telanjang", tetapi kita menjelaskan apa yang tidak diketahui publik. Program PR adalah program komunikasi untuk memberikan wacana yang sebenarnya sehingga orang faham. Ada mutual understanding di situ. Orang faham apa yang sedang terjadi.
Apa fungsi publik dalam PR?
Kalau dalam PR, publik itu bukan masyarakat luas tetapi publik yang terbatas, segmented public. Jadi kita bicara pada publik yang berbeda dengan bahasa yang berbeda, tetapi inti pesannya harus sama.
Jadi PR adalah bagaimana menyampaikan pesan?
Ya, bagaimana menciptakan pesan itu sehingga menjadi persepsi publik atau seseorang kalau dikaitkan dengan kandidasi/ kegiatan pencalonan tadi.
Jadi sebenarnya sangat luas liputan dari sektor PR ini, tetapi masyarakat sering mengaitkan bahwa PR tidak jauh dengan marketing. Buktinya, perusahaan PR sering juga merupakan perusahaan yang menyelenggarakan product launching terkadang merangkap advertising. Jadi orang menganggap PR sama saja dengan marketing.
Kalau marketing ingin menjual sebanyak-banyaknya produk, sementara PR ada etikanya seperti mungkin hanya mengambil manfaat dari yang jelek-jelek seperti dikemukakan tadi. Yang satu menutupi, yang lain membuka secara jujur. Dimana persinggungan dari PR dan Marketing?
Misalnya produk sabun, sebelum produk tersebut diluncurkan ke pasar maka masyarakat harus dikondisikan bahwa semua harus bersih, dengan bersih penyakit hilang, kulit lebih cemerlang, orang lebih menarik, bau badan hilang. Nah hal itu terus dikondisikan sehingga orang melihat bahwa apa sih yang dibutuhkannya, keluarlah sabun. Kemudian sabun itu dipublikasikan dan PR-nya jalan terus, didukung oleh aktifitas advertising (periklanan). Setelah produk sabun diluncurkan, jangan hanya berhenti di situ karena orang sudah membeli produknya. Kembali lagi ke PR-nya, seperti bagaimana efisiennya sabun itu digunakan, kapan sebaiknya mandi, dan lain-lain. Jadi ada semacam edukasi. Bukan hanya membeli saja kemudian lepas, hilang begitu saja. Itu supaya orang membeli lagi sabun tersebut. Itu harus digaungkan terus tapi tidak perlu lagi dengan iklan besar-besaran karena awareness orang sudah tahu.
Jadi ada fungsi edukasi di dalam PR?
Ya. Jadi kalau kita bicara PR maka ada tahap awareness, lalu tahap berikutnya knowledge, seperti bisa diceritakan bagaimana pembuatannya, ramah lingkungan, dan lain-lain. Kemudian tahap understanding, lalu believe, yaitu yakin bahwa sabun itu bermanfaat. Dari situ maka kita harapkan ada sikap yang berubah dari membeli sabun X, Y, Z menjadi sekarang hanya membeli sabun X. Sesudah membeli sabun X, dia tidak akan mengatakan menyesal membeli sabun tersebut karena sudah mengetahui awarenessnya dan sebagainya. Kalau marketing, dari orang tidak mengetahui lalu dengan publikasi dan iklan maka langsung membeli tanpa mengetahui background-nya. Kalau sesudah itu dia mengatakan, "Aku menyesal nih beli ini", It is very bad impression. Dari segi marketing sangat berhasil, tapi dari segi PR gagal total.
Siapa diantara tokoh politik yang kira-kira sadar PR dan yang menjalankan itu dengan baik, baik yang sekarang mencalonkan presiden atau tidak?
Kalau dilihat dari yang ada sekarang mungkin Jusuf Kalla. Terlepas sebagai orang yang jualan macam-macam, beliau banyak melakukan strategi sampai komunikasi ke bawah. Ada juga hal yang dikhawatirkan, apakah setelah dia menjadi presiden akan tetap konsisten seperti itu, itu perlu waktu buat membuktikannya. Kalau yang lain saya melihat mereka lebih kepada selling themselves.
Kembali ke soal PR yang lebih umum dan komersil. Bagaimana perusahaan PR yang ada sekarang ini di Indonesia?
Industri PR memang sedang berkembang luas di Indonesia. Tetapi kita juga harus kritis terhadap kegiatan mereka. Kalau saya tidak salah rata-rata hanya sebagian kecil yang berkaitan dengan issue management, sebagian kecil yang berkaitan dengan riset. Yang paling banyak adalah menangani krisis, product launching, event organizing. Masih sebatas itu, dan itu sifatnya adhoc. Yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun suatu lembaga negara yaitu semua yang sifatnya continue (berkelanjutan). Jadi tidak bisa sekaligus kita buat program PR kemudian dilepas begitu saja. Itu harus terus dipelihara. Saya tidak bisa menyebutkan sejauh mana. Saya mendengar ada beberapa konsultan di Indonesia yang sudah bisa membuktikan bukan hanya hebohnya saja, tetapi apakah program yang mengeluarkan uang, sekian miliar misalnya, itu bermanfaat atau tidak. Jadi dia melakukan riset pada saat pra dan postnya. Evaluasinya bukan hanya pada kliping atau orang mengatakan apa, tetapi orang berubah sikap atau tidak. Nanti ujung-ujungnya lari kepada kontribusi to the bottom line of the organization. Orang sering bicara mengenai Return of Investment (ROI), itu sekarang sudah bisa diukur tapi tentunya melalui riset.
Jadi PR lebih banyak digunakan sebagai upaya menyelamatkan atau menangani krisis di perusahaan atau event politik daripada program yang berkelanjutan. Apakah ini karena kekurangan pengetahuan diantara praktisi PR atau memang dunia PR di Indonesia hanya krisis saja sehingga penanganannya juga demikian?
Kalau dilihat dari kacamata perkembangan profesi maka PR di Indonesia merupakan satu profesi yang baru. Kita sebut itu profesi, maka apakah betul praktik PR di Indonesia sudah profesional? Ada atau tidak kode etiknya. Kalau melanggar, bagaimana sangsinya? Sebab kalau dikaitkan dengan profesi, seorang praktisi harus taat kepada kode etik bukan taat kepada bos perusahaan atau lembaga dimana dia digaji bekerja di situ. Yang kedua, saya melihat di Indonesia itu yang penting memang survival. Boro-boro mau spend a lot of money untuk PR tapi survival dulu karena situasi yang begini chaos, tidak jelas UU dan hukumnya. Transparansi terpaksa mau - tidak mau harus dilakukan karena banyak kaitan dengan KPK, dan sebagainya. Nah ini proses. Tapi saya kira dalam waktu lima tahun mau - tidak mau kita harus lebih transparan. Ini supaya investor juga lebih percaya kepada kita bahwa perusahaan di Indonesia memang saat ini dalam situasi tidak jelas tetapi lambat laun harus menjadi perusahaan yang accountable.
Kalau Anda pernah membaca di beberapa media beberapa waktu yang lalu tentang kegagalan Danau Toba menjadi salah satu warisan dunia oleh UNESCO maka itu bisa dianggap sebagai kegagalan marketing, kegagalan memasarkan produk, kegagalan menyampaikan dan mendukung itu sebagai produk. Barangkali PR salah satunya yang harus turut berperan. Sebelum Anda menjelaskan hal itu, kita ingin juga mengetahui lebih banyak tentang International Public Relations Associations (IPRA)?
IPRA itu satu organisasi yang dibentuk oleh tokoh-tokoh di Eropa, termasuk dari Italia juga ada, pada tahun 1955. Organisasi ini mengumpulkan para praktisi dari 110 - 115 negara. Mereka ingin memberikan suatu leadership positioning bahwa ini merupakan organisasi yang bisa diandalkan dari segi profesionalitasnya. Praktisi-praktisi yang ada di sana minimal sudah lima tahun dalam level manajerial. Konsultan-konsultan dunia, akademisi, praktisi juga bergabung di sana. Di Indonesia, IPRA sudah ada pada tahun 1980-an tapi memang belum dikenal banyak di Indonesia. Karena itu ketika saya menjadi board of directors untuk mewakili kawasan Asia Pasific, saya melihat bahwa di Asia Pasific PR belum begitu jalan. Saya memberikan masukan-masukan kepada mereka bahwa kita akan menjadi negara yang besar untuk kaitan dengan PR-nya. Contoh, negara kecil seperti Slovenia, kita tidak tahu dimana persisnya Slovenia itu, tapi PR dan risetnya kuat. Mereka mengundang tokoh-tokoh dunia, praktisi-praktisi, dan tokoh akademisi atau guru besar dunia untuk berbicara di negara itu lalu kemudian mereka sebarluaskan.
Tadi Anda mengatakan Danau Toba. Siapa yang tidak kenal Indonesia? Kita dikenal dengan letusan Gunung Krakatau pada 1883, tapi sekarang itu hilang. Bahkan Borobudur tidak lagi diakui atau disebutkan sebagai keajaiban dunia. Kenapa?
Karena Indonesia tidak mengkomunikasikan itu secara terus menerus. Indonesia begitu luas, tapi apa ikon yang dijual? Kita mempunyai Komodo, kita mempunyai Borobudur, tapi orang mengatakan kita mempunyai Monas. Padahal Monas itu lambang Jakarta. Saat ini kita belum siap dari segi infrastruktur, tatanan sosial ekonomi, dan transportasi. Investor asing mau datang ke sini tapi kondisi listrik masih seperti sekarang. China dalam 10 tahun terakhir ini mengubah persepsi dunia terhadap negara tersebut dengan kampanye PR. Sekarang semua orang China belajar bahasa Inggris. Dengan kesadaran itu diharapkan bahwa nanti saat Olimpiade berlangsung di China, orang-orang datang ke sana dan orang-orang yang dipinggir jalan bisa memberi informasi. Jadi kesadaran itu dibangun di sana.
Jadi menitikberatkan pada kesinambungan dari program PR itu. Kita melihat seringkali perkembangan PR berjalan seiring perkembangan ekonomi. Sekarang dunia sedang menghadapi pemanasan global dan sebagainya. Apakah itu juga kira-kira menjadi sektor yang akan ditangani oleh dunia PR. Sejauh mana dunia PR melihat itu sebagai sesuatu yang penting dipahami oleh masayarkat?
Kalau dilihat dari trend, AS bisa dikatakan PR-nya sudah mature. Kemudian di Eropa juga sudah mapan. Trend yang akan kita bawakan pada November nanti adalah Asia Rising. Tema Asia Rising itu untuk menunjukkan negara-negara di Asia berpotensi besar dalam mengembangkan PR-nya terutama dari segi pendidikan dan konsultasi. Jadi kita di Indonesia siap-siap saja menerima serbuan dari konsultan asing yang datang untuk melakukan PR di Indonesia. Walaupun sekarang kondisi Indonesia seperti ini, tetapi pasca 2009 dengan presiden baru - siapa pun yang menjadi presidennya - Indonesia akan menjadi market yang sangat besar, potential market, dan krisisnya banyak. Dengan banyak krisis, banyak product launching, akuisisi dan sebagainya maka itu menjadi lahan untuk PR. Sekolah PR juga termasuk, tetapi sekolah perlu meningkatkan kualifikasi dari pengajarnya. Jangan sampai ada pengajar yang kebetulan hanya populer kemudian mengajar PR, nanti akan balik lagi PR-nya hanya promosi, publikasi dan selling saja. Jadi kita berputar-putar seputar itu, sementara kita sudah harus branding dan positioning. Itu yang harus ditata.
Created by : Milditiara Kamdani
No comments:
Post a Comment